Kamis, 26 Februari 2009

Iceberg phenomenon

Jumat pagi ne gak seperti biasanya. Yang biasanya bangun masih ‘aras2en’ mandi, akhirnya dipaksa cepet mandi. Yang penting jam 6 harus nyampe HVA. ‘’note : sebelum jam 6 harus sudah di RS, ada pengarahan dari Dandim’’. Wiiihh enek opo iki, yang jelas ikut aja lah. Jadi yang biasanya mandi jam setengah 7 (lumayan dingin) hari ini jam setengah 6 dah mandi (super dingin). Nyampek rumah sakit, lumayan dah banyak yang kumpul, tapi untung blm terlambat. Acara blm dimulai, Pak Dandimnya blm dateng kayaknya. Tapi apa daya dari jam 6 duduk ampe jam 7 yang ditunggu kok gak muncul2 se. Lage perut laper bgt. Yaa, bbrp menit kemudian beliaunya dateng, duh dah ngebayangin ne mau ngomongin soal bela bangsa ne jangan2, Ato pemantapan P4 (hehe jadul banget se). Setelah ada pembukaan dari direktur yang sedikit mengulas soal ‘motivasi’ baru kemudian pak Dandim tu buka power point (tapi aku judulnya lupa).. mklum dlm keadaan lapar, otak ku cm setengah doang yang berfungsi. Dari satu patah kata, dua, tiga, ampe satu jam dengan ratusan patah kata... wihh ternyata ne orang ‘mario teguh’ punya. Ne Dandim apa psikolog se? Otakku jadi ‘full brain’ ne. Intinya bicara soal membangun karakter dan dedikasi untuk membangun bangsa. Ada pelajaran yang sangat berharga, karena beliau mengangkat salah satu bahasan yaitu ‘Iceberg Phenomenon’. Fenomana gunung es ini bukan dalam lingkup global warming, tp esensi yang terkandung dari karakter gunung es itu sendiri. Sebuah gunung es, jika tampak di atas ‘sea level’ tampak memang seperti kita melihat bukit kecil. Tapi jika dilihat kedalam lagi, ternyata gunung es yg kita kira besar itu ternyata disokong oleh gunung es yang lebih besar lagi. Alias ‘sebongkah’ gunung es sebenarnya hanya menampakkan ujungnya saja di permukaan laut. Sisa tubuhnya bersembunyi dalam lautan (yang siap-siap muncul). Jika diprosentasikan, hanya sekitar 10% gunung es yang muncul di permukaan. Sisanya 90% merupakan gunung es yang tampak mata. Seperti itulah karakter manusia. 10 % merupakan karakter kita yang tampak oleh orang lain yaitu ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian. 90% merupakan karakter kita yang blm/ tidak muncul dan terkadang tidak diketahui oleh orang lain, tidak lain yaitu mental kita. Karakter ‘dalam’ kita ini yang akan memberikan dampak pada karakter yang berada di atas tadi. Kita tidak akan pernah tau sikap mental seseorang dan seseorang pun terkadang masih bertanya-tanya tentang karakter mental kita. Tugas kita adalah membangunnya, membentuknya, dan mengasahnya agar bisa menjadikan dedikasi dan karakter ‘a great attitude’ yang SUPER. Yang kita butuhkan adalah skills, knowledge, hard work, dan attitude, sehingga kita bisa mengolahnya agar bisa menjadi 100% best personality. Semua bisa dilakukan dengan dedikasi. Wihhh makasih ya pak Totok.. (eh lupa namanya sapa?).

Rabu, 25 Februari 2009

Indeks Terapetik dan Batas Terapetik

Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat yang terkandung dalam obat dan berada dalam margin/ batas keamanan obat. Beberapa obat mempunyai batas terapi yang luas. Ini menunjukkan bahwa pasien dapat diberikan dengan range tingkat dosis yang lebar tanpa terjadi efek toksik. Obat lainnya mempunyai batas terapi yang sempit dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik.
Indeks Terapetik (IT) memberikan informasi batas keamanan dari obat dan rasio antara dosis terapi pada 50% pasien/binatang coba dan lethal dose (dosis yang menyebabkan kematian) pada 50 % binatang coba. Dosis terapetik disimbolkan dengan ED50 dan lethal dose disimbolkan dengan LD50. Rasio mendekati angka 1, dan lebih dari itu merupakan efek toksik.
IT = LD50/ED50
Obat yang mempunyai IT yang rendah dapat disimpulkan mempunyai batas keamanan yang sempit (indeks terapi sempit). Obat-obatan ini memerlukan pengawasan pada level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah munculnya efek toksik. Jumlah obat dalam plasma harus berada di dalam batas terapi. Jika diilustrasikan pada gambar batas antara MEC (Minimum Effective Concentration) dan MTC (Minimum ToxicConcentration). MEC dicapai pada pemberian dosis awal, dimana pemberian dosis awal yang besar diharapkan agar bisa tercapainya obat dalam plasma diatas MEC secara cepat.

Rabu, 11 Februari 2009

14 pebruari hari apa yaa?


Ehmm 14 Pebruari tahun lalu merupakan hari yang bersejarah di kehidupanku. Kebanyakan orang se memperingatinya sebagai hari Valentine, tapi aku aja gak seberapa ngerayain yang namanya valentine. Coz epriday is valentine day for me. Tapi hari itu lain. Hari itu aku pagi2 buta dah dijemput temenku untuk ngantri di salon. Ehmm pagi2 nyalon? Hehe Namanya juga cewek pngn keliatan cantik di hari yang penting. Sampai di jam yang ditentukan kami harus berkumpul (tempat yang telah mendidikku selama beberapa tahun ini) aku dateng 1 jam lebih awal dari waktu itu. Aku waktu itu datang bersama temanku sesama nyalon, dan kedua orang tuaku serta adikku. Semuanya tampak terlihat cantik2 dan cakep2. Rapi. Berwibawa. Dan tampak bahagia..
Hari itu adalah acara Pengucapan Sumpah Apoteker Periode 85 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya.
Segala jerih payah, keluh, peluh, emosi, canda tawa, tak akan sirna memang, hanya ternyata berubah jadi suatu perasaan yang tak bisa diungkapkan. Bangga menjadi orang yang lebih baik, bangga aku bisa melihat kedua orangtuaku tersenyum melihatku menjalani prosesi ini.
Prestasi akademik mungkin tak bisa kuraih saat itu, tapi bagiku aku telah belajar super banyak untuk siap menghadapi masa depanku. Belajar tentang mengembangkan wawasan, belajar tentang bekerja keras, belajar tentang berkomitmen, dan belajar tentang kehidupan.
Terima kasih Tuhan, atas moment yang indah waktu itu.

Berkenalan dengan Steven-Johnson Syndrome

Pada akhir taun lalu ada suatu kejadian di sebuah desa pelosok di kotaku, tentang Steven-Johnson syndrome ini dan sampai mengarah pada pelaporan kasus ini ke polisi. Karena diduga seorang petugas medis yang dianggap ‘lalai’ sehingga menyebabkan si pasien harus menjalani perawatan intensif, dan disebut2 menderita Steven-Johnson syndrome. Aku gak bisa menceritakan lebih lanjut karena pada kasus ini memang banyak hal yang jadi permasalah tidak hanya penyakit yang ‘mendadak’ diderita oleh si pasien, permasalahan kompetensi sang petugas medis, eh tapi kasus ini juga mengandung nilai politik.
Sebenarnya apa itu Steven Johnson syndrome? Mengapa bisa terjadi? Dan karena apa?
Steven-Johnson Syndrome merupakan kondisi yang mengancam jiwa seseorang yang menyerang kulit dimana terjadi kematian sel yang disebabkan terpisahnya epidermis dari dermis. Sehingga bisa dikatakan kalau STS merupakan reaksi dermatologis yang sering ditandai dengan ‘melepuhnya’ membran mukus (bibir, mata, vagina) dan adanya bintik merah sebagian atau sampai keseluruhan tubuh.
Penyebabnya antara lain infeksi (biasanya diikuti oleh infeksi seperti herpes simplex, virus, influenza, penyakit gondok, histoplasmosis, Epstein-Barr virus, atau sejenisnya), efek samping dari obat (allupurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penisillin. Barbiturat, sulfonamida, fenitoin, azitromisin, lamotrigine, neviparin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin), kegaganas (kanker), dan faktor idiopatik. Pada awalnya SJS cenderung disebabkan oleh penggunaan antibiotik (antibiotika golongan sulfonamid, penisilin)
Pengobatan SJS pada dasarnya sama dengan pengobatan pada luka bakar, dan diikuti dengan pengobatan suportif atau pendukung dengan cairan pengganti (infus) dan pengobatan simtomatik (bersifat meringankan gejala) yang bisa terdiri dari analgesik (pereda nyeri). Sehingga tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penderita SJS. Pengobatan dengan kortikosteroid (sebagai immun supresor untuk mengatasi reaksi immun yang berlebihan dari SJS) masih diperdebatkan karena bisa dimungkinkan akan malah meningkatkan resiko infeksi sekunder.
Na.. karena SJS merupakan reaksi alergi, sama artinya dengan tidak semua orang akan mengalaminya, maka tidak bisa dipastikan seseorang akan mengalami SJS atau tidak. Pada kasus yang kuceritakan diatas yang menyebabkan SJS adalah penggunaan dari Amoxicillin (antibiotik penisilin). Tidak semua orang bermasalah dengan antibiotik ini. Sebenarnya ada tes untuk mengetahui apakah kita sensitif/ alergi terhadap antibiotik atau tidak. Dengan skin tes, (pada prakteknya aku belum paham bagaimana caranya) dilakukan dengan cara menyuntikkan antibiotik secara subkutan, dan dilihat bagaimana reaksi kulit kita selanjutnya. Tp ada yang mengatakan tes ini tidak efektif karena hasil tesnya bukan merupakan efek antibiotik secara sistemik. Tapi apapun itu semuanya bisa dicegah. Jika terpaksa harus mengkonsumsi antibiotik (untuk pertama kalinya) maka minum secara biasa dan liat reaksi dalam satu atau dua hari. Jika merasakan gatal-gatal, demam, sesak nafas atau muncul kemerahan pada kulit, hentikan pengobatan dan segeralah ke dokter atau kalau perlu ke UGD agar bisa langsung ditangani dan tidak semakin membahayakan. Pastikan dan ingat betul obat yang membuat alergi tersebut, jika sewaktu2 dokter meresepkan obat itu, komunikasikan agar bisa diganti dengan obat lain yang sekiranya mempunyai efek yang sama namun jarang menimbulkan alergi. Atau tanyakan pada Apoteker terdekat anda.

Praktek dokter aneh

Barusan kemaren aku liat berita di tv soal praktek dokter MJ (cm inisial aja) di jakarta. Ehm cukup unik juga se ne dokter melayani pasiennya. dari pantauan reporter berita salah satu tv swasta itu dengan menggunakan kamera tersembunyi, mendatangi praktek dokter itu yang ternyata pasiennya lumayan rame juga lho. Setiap pasien yang masuk ke dalam ruang periksa, gak sampai 5 menit dah keluar dengan membawa sebungkus plastik obat. Dan giliran reporter itu datang (nunut ibu yg bawa anaknya sakit) ternyata dokter itu cm langsung memberi obat tanpa memeriksa terlebih dahulu keadaan si pasien. Eh ne pasien (anaknnya ibu tadi) mengeluhkan berat badannya terus turun. si dokter cm tanya "kapsul apa puyer?". dan si ibu menjawab ''kapsul saja''. setelah itu tidak lama kemudian diberikannya kapsul itu kepada si pasien dengan sepengetahuan si reporter. Disitu tampak sekali dokter ketus dalam melayani pasien, melihat pasien pun gak. setelah ditanya apakah isi kapsul tersebut, si dokter cm menuliskan "vitamin camp'' yang artinya vitamin campuran. lalu keluar deh si pasien..

Haaa... that's it?

semudah itukah?bukan masalah si dokter memberikan obat yang menjadi kewenangan farmasis se (itu menurutku) cm masak iya dokter gak memeriksa si pasien bahkan melihatpun tidak. bagaimana dia bisa menegakkan diagnosa dari pemeriksaan (kecuali dengan adanya hasil lab) lalu memberikan obat? yang jelas si dokter emang ramai dikunjungi pasien dan banyak yg berkomentar kalo penyakitnya sembuh.
Naa ini ne yang mesthi diluruskan. Kompetensi kita, loyalitas kita terhadap profesi masing2 perlu ditegakkan. gini ne kan ya tujuannya untuk kualitas hidup yang lebih baik dari pasien. tp gak semua dokter kayak gt deh...

Senin, 09 Februari 2009

learn by d'paz

Sesekali inget masa lalu. Bagaimana ternyata aku bisa melaluinya sampai aku bisa berdiri sekarang. Semuanya berkat masa lalu, apa yg kulakukan masa lalu adalah aku sekarang. Terkadang hati ini bertanya, bagaimana bisa aku bertahan sebegitu hebatnya. Hebatkah aku? Tidak juga. Semuanya bertahan sesuai naluriku. Perjuanganku saat menembus SPMB, tiap hari jalan kaki buat bimbingan intensif di kota Malang. Hampir tak pernah jalan2 gara2 saking banyaknya tugas yg diberikan oleh sang Tutor. Tapi apa hasilnya? Ternyata aku sukses, aku lulus SPMB. Rasanya terharu jika ingat ini semua. Farmasi Universitas Airlangga, tujuanku selanjutnya. Menjadi mahasiswa. Dengan jiwa yg masih berupa SMA. Aku kelabakan, dari sifat yg masih malas hingga kurang kerja keras dalam belajar membuat prestasiku bisa dibilang sangat tidak memuaskan. Waktu itu (dan baru kurasakan sekarang) aku benar2 tidak belajar dari kerja kerasku menembus SPMB. Entah karena apa, tp rasanya aku tidak punya keyakinan untuk melanjutkannya. Bahkan rasa tidak percaya diri semakin timbul semester demi semester. Hingga pada akhirnya aku harus memlih skripsiku. Di bagian mana aku harus menyelesaikan skripsi ini. Semua teman2 ku waktu itu sudah banyak yg mempunyai pegangan untuk skripsinya. Sedangkan aku? Orang yang terlalu santai dan akhirnya mendapatkan ganjarannya. Nilaiku tak jusga bagus, banyak mata kuliah yang tak bisa kuikuti, skripsi blm jelas, aku merasa sendiri dan bingung. Aku malu berjalan, tapi aku lebih malu lagi kalau aku berhenti. Dengan keadaan terjepit ini aku mencari kesempatan untuk mencari dimana tema skripsiku akan kubuat. Setelah kudapatkan, aku mendapat seorang pembimbing. Dan ternyata skripsi yang kukerjakan, harus kukerjaan sendiri karena tema yang kupakai tidak sama dengan mahasiswa lain yang mungkin bisa bekerja sebagai team dalam satu tema. Dan setelah kujalani, ternyata memang lebih menyenangkan jika ada patner disamping kita dalam bekerja. Berada di laboratorium sendirian, masih seneng kalo ada temen lain pas mengerjakan tugas skripsinya di hari yang sama. Tapi aku lebih banyak mengalami bekerja sendirian. Berat ringannya aku yg tanggung, apapun hasilnya, apapun kejadian yang tidak menyenangkan aku yang rasakan. Sampai suatu ketika aku mengalami musibah, saat alat yang digunakan untuk tes UV/Vis terjatuh dan pecah. Betapa aku kehilangan konsentrasi saat itu mengingat harga kuvet itu sekitar 600 ribu. Aku tak bisa bekerja dengan fokus, prosedur salah, hasil penelitian tidak maksimal, kerjaan tidak beres. Lelah rasanya. Tapi apakah aku harus menangis menjerit-jerit dalam laboratorium? Inginku juga seperti itu. Tapi masak iya, dan aku berpikir sekali lagi bahwa siapa yg bisa mengerti keadaanku saat orang lain juga berpikiran fokus terhadap dirinya sendiri. Aku sendiri merasakan empati mereka padaku, tapi aku sendiri juga berpikir ya inilah yg harus kujalani, bukan orang lain. Sampai akhirnya aku dibantu orangtuaku untuk mengganti semuanya itu. Semuanya belum berhenti, masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan sendiri. Suatu saat aku merenungi hasil kegagalan demi kegagalan ini. Semuanya memang diperuntukkan untukku, Tuhan berikan sesuatu yang berharga untukku ini agar aku bisa berdiri dengan tegak sekarang. Pelan dengan pasti semuanya bisa dilalui, walaupun cobaan dan kegagalan tetap saja datang dan pergi, tapi paling tidak aku bisa menyingkapinya. Sampai aku akhirnya lulus Sarjana dan menginjak Profesi walaupun dengan prestasi yang pas-pasan. Dengan keterbatasan kekuatan jiwa ini dan keyakinan yang masih terbata-bata, kupaksakan untuk ttp berlari. Walaupun terpincang-pincang. Berat. Melelahkan. Tapi inilah hidupku. Aku tidak suka ‘shortcut’. Semuanya kulalui dengan apa adanya. Sampai pada akhir studi profesiku juga masih banyak kendala yang hadir. Hingga pada hari yang diharapkan, Yudisium. Dari 65 anak yang dipanggil satu persatu, kutunggu-tunggu namaku. Sudah hampir dipanggil semua tapi terucap juga namaku 3 dari yang terakhir. Itu sesuai dengan urutan Indeks Prestasi. Tak apalah, yang jelas aku bangga dengan kerja kerasku. Walaupun mungkin prestasiku tidak bisa seperti yang lain. Beberapa minggu kemudian, sesuatu yang tidak disangka2 aku ditawari sebuah pekerjaan di asuransi. Memang tidak sepenuhnya ilmu ku kuterapkan, tapi paling tidak aku bisa belajar. Akhirnya kujalani pekerjaan itu. Dapat gaji, dengan nominal yang bisa dibanggakan. Bisa bekerja dengan orang lain. Bisa membangun hubungan antar karyawan, bisa mandiri, bisa membuat orang tuaku bahagia. Kebahagiaan itu datang satu persatu. Sampai Sekarang, aku bisa berdiri dengan bangga. Siap menjalani hidupku agar bisa melihat senyumku di masa depan.

Kamis, 05 Februari 2009

already 'on' position

Setiap detik menandakan siapnya peperangan. Kerja keras disiapkan untuk menghadapinya. Bagiku, yg selalu ‘merasa’ bekerja keras, ternyata masih blm sanggup memenangi peperangan ini. Ternyata ‘kesombongan’ ini yg membuatku jauh dari kemenangan, ‘kemalasan’ pasca ‘kerja keras’ seakan membuatku tak beranjak dari tempat awalku berdiri. Ada suatu ungkapan yang kutemukan di website seseorang :
Kerja keras melawan kemalasan Kerja keras melawan keegoisan Kerja keras melawan hawa nafsu Kerja keras melawan kesombongan Kerja keras melawan kemiskinan Kerja keras melawan Kebodohan
Kerja keras ternyata memang universal. Tak ayal aku yg mencap diriku sendiri sebagai pekerja keras non lelah, merasa belum bekerja keras, setelah melihat kualifikasi itu. Tak pernah ada yg kulawan selain waktuku dalam bekerja. Yang menandakan kemalasan, keegoisan, hawa nafsu, kesombongan, kemiskinan, dan kebodohan masih tertanam dalam diriku. Bahkan dengan mengetahui ini, merupakan tamparan yang keras bagi diriku yang menyukai kerja keras. Dan ini adalah siklus bagiku untuk kembali ke awal lagi. O’ow back to the zero? Ya, dan itu harus. Siklus adalah putaran, dan sedangkan aku satu putaran saja belum penuh.