Rabu, 11 Februari 2009

Berkenalan dengan Steven-Johnson Syndrome

Pada akhir taun lalu ada suatu kejadian di sebuah desa pelosok di kotaku, tentang Steven-Johnson syndrome ini dan sampai mengarah pada pelaporan kasus ini ke polisi. Karena diduga seorang petugas medis yang dianggap ‘lalai’ sehingga menyebabkan si pasien harus menjalani perawatan intensif, dan disebut2 menderita Steven-Johnson syndrome. Aku gak bisa menceritakan lebih lanjut karena pada kasus ini memang banyak hal yang jadi permasalah tidak hanya penyakit yang ‘mendadak’ diderita oleh si pasien, permasalahan kompetensi sang petugas medis, eh tapi kasus ini juga mengandung nilai politik.
Sebenarnya apa itu Steven Johnson syndrome? Mengapa bisa terjadi? Dan karena apa?
Steven-Johnson Syndrome merupakan kondisi yang mengancam jiwa seseorang yang menyerang kulit dimana terjadi kematian sel yang disebabkan terpisahnya epidermis dari dermis. Sehingga bisa dikatakan kalau STS merupakan reaksi dermatologis yang sering ditandai dengan ‘melepuhnya’ membran mukus (bibir, mata, vagina) dan adanya bintik merah sebagian atau sampai keseluruhan tubuh.
Penyebabnya antara lain infeksi (biasanya diikuti oleh infeksi seperti herpes simplex, virus, influenza, penyakit gondok, histoplasmosis, Epstein-Barr virus, atau sejenisnya), efek samping dari obat (allupurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penisillin. Barbiturat, sulfonamida, fenitoin, azitromisin, lamotrigine, neviparin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin), kegaganas (kanker), dan faktor idiopatik. Pada awalnya SJS cenderung disebabkan oleh penggunaan antibiotik (antibiotika golongan sulfonamid, penisilin)
Pengobatan SJS pada dasarnya sama dengan pengobatan pada luka bakar, dan diikuti dengan pengobatan suportif atau pendukung dengan cairan pengganti (infus) dan pengobatan simtomatik (bersifat meringankan gejala) yang bisa terdiri dari analgesik (pereda nyeri). Sehingga tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penderita SJS. Pengobatan dengan kortikosteroid (sebagai immun supresor untuk mengatasi reaksi immun yang berlebihan dari SJS) masih diperdebatkan karena bisa dimungkinkan akan malah meningkatkan resiko infeksi sekunder.
Na.. karena SJS merupakan reaksi alergi, sama artinya dengan tidak semua orang akan mengalaminya, maka tidak bisa dipastikan seseorang akan mengalami SJS atau tidak. Pada kasus yang kuceritakan diatas yang menyebabkan SJS adalah penggunaan dari Amoxicillin (antibiotik penisilin). Tidak semua orang bermasalah dengan antibiotik ini. Sebenarnya ada tes untuk mengetahui apakah kita sensitif/ alergi terhadap antibiotik atau tidak. Dengan skin tes, (pada prakteknya aku belum paham bagaimana caranya) dilakukan dengan cara menyuntikkan antibiotik secara subkutan, dan dilihat bagaimana reaksi kulit kita selanjutnya. Tp ada yang mengatakan tes ini tidak efektif karena hasil tesnya bukan merupakan efek antibiotik secara sistemik. Tapi apapun itu semuanya bisa dicegah. Jika terpaksa harus mengkonsumsi antibiotik (untuk pertama kalinya) maka minum secara biasa dan liat reaksi dalam satu atau dua hari. Jika merasakan gatal-gatal, demam, sesak nafas atau muncul kemerahan pada kulit, hentikan pengobatan dan segeralah ke dokter atau kalau perlu ke UGD agar bisa langsung ditangani dan tidak semakin membahayakan. Pastikan dan ingat betul obat yang membuat alergi tersebut, jika sewaktu2 dokter meresepkan obat itu, komunikasikan agar bisa diganti dengan obat lain yang sekiranya mempunyai efek yang sama namun jarang menimbulkan alergi. Atau tanyakan pada Apoteker terdekat anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar